Saturday 21 April 2012

Memahami Kembali Gagasan Kartini, Cita-Cita Agus Salim dan Perspektif Jender


id.wikipedia.org

Mengapa Agus Salim? Apa kaitannya dengan perspektif Jender? Mungkin tidak ada! Tetapi cita-cita Agus Salim - seorang pemuda lulusan sekolah menengah di Bukit Tinggi - untuk melanjutkan  pendidikan tingginya di Amsterdam telah menarik perhatian R.A. Kartini. Cita-citanya kandas karena ketiadaan biaya. Berita tentang Agus Salim tersebut akhirnya terdengar juga oleh R.A. Kartini yang juga gagal berangkat ke Holland untuk meneruskan sekolahnya akibat tradisi pingitan. Sehingga waktu itu R.A. Kartini tergugah hatinya untuk mengalihkan beasiswanya dari pemerintah Hindia Belanda pada Agus Salim. Meskipun akhirnya tawaran tersebut ditolak, tetapi ketulusan R.A.Kartini untuk membantu si adik Agus Salim merupakan cerita haru yang tak bisa dibantah. Dalam kisah lain, Agus Salim menolak beasiswa tersebut hanya lantaran pemerintah Hindia Belanda memberikannya setelah adanya permohonan dari orang lain, bukan didasarkan kepada prestasi akademiknya. Agus Salim mengatakan bahwa  memang sudah selayaknya dia mendapat beasiswa bila pemerintah Hindia Belanda menilai dirinya secara jujur.

Hi. Agus Salim. foto: en.wikipedia.org

Kini, dari lidah Agus Salim kita menerima ungkapan: “Jalan pemimpin adalah menderita.” Lantaran goresan pena R.A. Kartini pula, kita sekarang bisa menyelami gagasan dan cita-cita luhur kaum perempuan. Surat-surat R.A. Kartini kepada beberapa orang Belanda dikumpulkan oleh direktur dari Departement Onderwijs en Eeredienst, Mr. J.H. Abendanon, dan pada 1911 diterbitkan sebagai buku yang berjudul: “Door duisternis tot Licht”. Buku yang kemudian disalin dalam bahasa Indonesia oleh Armijn Pane dengan judul: “Habis Gelap, Terbitlah Terang” dan diterbitkan oleh Balai Pustaka. Dalam bahasa Sunda diberi judul: “Tina Poek ka noe tjaang”. 

id.wikipedia.org

R.A. Kartini menuturkan cita-cita serta keinginannya agar perempuan pribumi Hindia-Belanda dapat bergerak maju dan mendapat pendidikan yang layak. Sebagai sosok perempuan bangsawan Jawa - puteri Bupati Jepara - R.A. Kartini telah menyaksikan dan  mengalami sendiri betapa tradisi adat telah menempatkan kaum perempuan pada posisi marjinal. Pada masa itu, kewajiban perempuan pribumi Hindia-Belanda hanya bekerja untuk rumah tangga dan mendidik anak-anaknya. Kaum perempuan diarahkan untuk berbakti pada suaminya dengan sepasrah-pasrahnya. Tujuan pendidikan kaum perempuan kala itu hanya agar mereka dapat menikah belaka. Kaum perempuan masih dipandang sebagai perabot dapur. Mereka tidak boleh banyak menuntut walaupun dipermainkan dan disia-siakan oleh suaminya.


Kegigihan R.A. Kartini itu membuahkan hasil. Atas upaya Teodore van Deventer yang terkesan pada pemikiran Kartini dalam buku "Habis Gelap Terbitlah Terang itu, maka Sekolah Wanita yang pertama didirikan di Semarang pada 1912. Kemudian menyusul di Surabaya, Jogyakarta, Malang, Madiun dan Cirebon. Sekolah Wanita tersebut diberi nama "Kartini School" (Sekolah Kartini) dan bernaung di bawah Tjandi-stichting (yayasan pendidikan untuk Hindia Belanda) yang didirikan oleh Nyonya Van Deventer pada 1913.

Kartini Schoool di Semarang.foto: nl.wikipedia.org

Pergerakan Perempuan Indonesia

Perjalanan hidup dan perjuangan R.A. Kartini tentu berbeda dengan perjuangan Raden Dewi Sartika. Perjuangan Ibu Kartini, kini kita sebut, masih dalam tataran konsep. Sedangkan Dewi Sartika merupakan sosok perempuan pertama yang menanam benih pendidikan di kalangan kaum perempuan Sunda khususnya dan kaum perempuan pribumi Hindia-Belanda umumnya. Meskipun hanya sempat belajar di sekolah rendah sampai kelas IV, perjuangan Dewi Sartika akhirnya menuai hasil. Pada 1914, perkumpulan Keutamaan-Isteri mengirimkan 5 orang gadis dari Padang untuk dididik oleh Dewi Sartika dengan harapan akan menjadi guru di Minangkabau. Pendidikan ini merupakan cikal-bakal didirikannya “Keoetamaan Isteri School”. Guru-guru di sekolah ini kebanyakan lulusan sekolah yang diasuh Dewi Sartika. Sebelum itu, pada 1913, Dewi Sartika telah menyumbangkan pemikirannya melalui pidato dalam Openbare Vergadering Congres Sarekat Islam atas undangan H.O.S Tjoroaminoto. Pidato tersebut menjadi inspirasi para peserta kongres. Sehingga didirikanlah sekolah untuk anak perempuan di Surabaya bernama: “Mardhi Kenjo”. Pada 1919-an, didirikan Van Deventerschool. Sampai akhirnya sekolah-sekolah untuk anak perempuan bertambah banyak jumlahnya.
Raden Dewi Sartika. foto: id.Wikipedia.org

Puncak perjuangan Dewi Sartika adalah ketika menerima bintang perak dari pemerintah Hindia-Belanda dan mendapat gedung baru yang diberi nama:”Raden Dewi Sartika School.” Ketika genap 35 tahun usia sekolah yang dirintisnya, Dewi Sartika menerima medali emas dari Orde Oranje Nassau

Raden Dewi Sartika School. foto: disparbud.jabarprov.go.id

Dalam perjalanan panjang itu, Kongres Perempuan Indonesia I diadakan pada Desember 1928 di Jogyakarta. Kongres ini merupakan reaksi ketika perkumpulan Vrouwenkiesrecht mengundang Wanito Utomo (Jogyakarta) untuk mengirim utusan ke Pacific Congress di Honolulu, Hawai. Undangan tersebut tidak bisa dipenuhi karena Wanito Utomo merasa belum cakap dan belum sanggup. 

Peran Ibu Kartini sebagai perintis pergerakan perempuan Indonesia tidak bisa diabaikan. Meskipun masih sebatas konsep, tetapi itu bisa dimengerti. Ibu Kartini wafat  usia 25 tahun. Usia yang sangat belia. Andaikan diberi usia panjang, tentu jejak sejarah akan bercerita lain. Bisa dikatakan bahwa Raden Dewi Sartika bukan tokoh tunggal dalam masa perintisan perjuangan untuk mencapai kesetaraan jender. Raden Dewi Sartika mencurahkan tenaganya untuk rakyat jelata. Sekolahnya juga untuk keperluan kaum perempuan di kalangan rakyat. Sehingga akhirnya Reden Dewi Sartika diberi gelar R.A. Kartini dari Pasundan.


Budaya dan Agen Perubahan

Jika kita mencoba menelusuri perjuangan perempuan di Indonesia dan di negara lain, maka rentang waktunya sangatlah panjang. Bahkan kajian-kajian tentang peran perempuan dalam pembangunan tidak pernah habis. Jeanne d’Arc - sang wanita pahlawan Perancis - mendapat perlakuan diskriminatif dari kalangan mayoritas, meskipun memiliki banyak pengikut dari kaum pria. Di negara pelopor demokrasi itupun, tidak dikenal adanya perempuan yang menjadi presiden hingga kini. Entah yang akan datang.

Peran perempuan di Eropa pada abad ke-19 penuh kontradiksi. Saat memasuki masa industri, mereka hanya menjadi teman perjalanan ayah atau suami mereka yang menyusun strategi kolonialisme. Bahkan beberapa abad sebelumnya, mereka kadang kala dijadikan tumbal dalam upacara ritual.

Di Minangkabau yang lekat dengan peran Bundo Kanduang dan sistem adat matrilineal, ternyata kekuasaan formal tetap dipegang laki-laki. Suatu fakta fenomenal menunjukkan bahwa meskipun perempuan merupakan ahli waris dan pemilik sah harta pusaka, tetapi mereka tidak memiliki kontrol penuh atas sumber daya seperti tanah dan harta pusaka tersebut. Kontrol justru dikendalikan oleh mamak dan datuak. Namun di segi lain, tokoh perempuan Minangkabau yang memang memiliki otoritas dan digambarkan sebagai Bundo Kanduang di rumah gadang sangat piawai dalam mengelola dan memimpin semua penghuni rumah gadang. Pada masa lalu, Bundo Kanduang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.

Keterlibatan perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan sangat penting. Di Kabupaten Nunukan, masyarakat Toro sejak abad ke-8 sudah memiliki figur pemimpin perempuan yang disebut ibu kampung (tina ngana) dan berfungsi sama dengan dewan pimpinan kampung (totua Ngata toro). Dalam setiap pertemuan, keputusan tidak bisa diambil tanpa kehadiran tina ngana.  Seorang tina nyata juga sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu konflik. Juga di Lampung, khususnya masyarakat Lampung Pesisir, peran perempuan cukup dominan dalam kegiatan pertanian. 

Hal yang dilematis pada era modern kini, ternyata akses perempuan perdesaan terhadap pendidikan sangat rentan. Minimnya akses ini akan berimplikasi buruk ketika mereka menjadi masyarakat urban atau ketika lingkungannya sendiri harus beradaptasi dengan para pendatang dan hadirnya teknologi baru.

Dalam konteks kekinian, perbedaan akses dan kontrol telah menarik perhatian ekonom penerima Nobel, Amartya Sen. Terdapat bukti hampir merata di berbagai belahan dunia bahwa pengabaian terhadap hak-hak perempuan disebabkan oleh faktor budaya. Bank Dunia  pun dalam Engendering Develpopment, Trough Gender Equality in Rights, Resources, and Voice (2001) menemukan bahwa diskriminasi berdasarkan jender dapat menghambat pembagunan dan kesejahteraan masyarakat.

Peran perempuan memang sangat diharapkan sebagai agen perubahan. Namun harus dipahami kembali secara mendalam oleh para Kartini Kecil bahwa kedudukan perempuan dalam kekuasaan formal yang bersifat politis tidak mutlak diperlukan. Hal yang jangan pernah dilupakan adalah bahwa keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan memang  merupakan keharusan. 

Kita perlu manyimak ulang bahwa pendirian R.A. Kartini yang mula-mula ingin hidup sendiri, akhirnya menjadi berubah. Dalam suratnya: ”Sepatah kata akan menggambarkan kepada nyonya dengan selekas-lekasnya tentang perubahan baru dalam hidupku. Saya akan melakukan kewajiban saya, tiadalah sebagai orang perempuan yang berdiri sendiri, karena seorang laki-laki yang cakap mulia, akan membantu saya bagi keperluan bangsa kami”.

Pada 1939 kemudian, seorang perempuan penyair angkatan baru menulis bait puisi dalam sebuah majalah ketika itu:
 “Marilah ‘puteri ibu bangsa';
 Semboyan kita bersatu hati;
 Mari berjuang di samping putera;
 Jadi pembela di sayap kiri." 

__________________________

0 comments:

Post a Comment