Mengapa
Agus
Salim? Apa kaitannya dengan perspektif Jender? Mungkin tidak ada! Tetapi
cita-cita Agus Salim - seorang pemuda lulusan sekolah menengah di Bukit
Tinggi
- untuk melanjutkan pendidikan tingginya di Amsterdam telah menarik
perhatian R.A. Kartini. Cita-citanya kandas karena ketiadaan biaya.
Berita
tentang Agus Salim tersebut akhirnya terdengar juga oleh R.A. Kartini
yang juga
gagal berangkat ke Holland untuk meneruskan sekolahnya akibat tradisi
pingitan.
Sehingga waktu itu R.A. Kartini tergugah hatinya untuk mengalihkan
beasiswanya
dari pemerintah Hindia Belanda pada Agus Salim. Meskipun akhirnya
tawaran tersebut ditolak, tetapi ketulusan
R.A.Kartini untuk membantu si adik Agus Salim merupakan cerita haru yang
tak
bisa dibantah. Dalam kisah lain, Agus Salim menolak beasiswa tersebut
hanya lantaran pemerintah Hindia Belanda memberikannya setelah adanya
permohonan dari orang lain, bukan didasarkan kepada prestasi
akademiknya. Agus Salim mengatakan bahwa memang sudah selayaknya dia
mendapat beasiswa bila pemerintah Hindia Belanda menilai dirinya secara
jujur.
Kini, dari
lidah Agus Salim kita menerima ungkapan: “Jalan pemimpin adalah menderita.”
Lantaran goresan pena R.A. Kartini pula, kita sekarang bisa menyelami gagasan
dan cita-cita luhur kaum perempuan. Surat-surat R.A. Kartini kepada beberapa
orang Belanda dikumpulkan oleh direktur dari Departement Onderwijs en
Eeredienst, Mr. J.H. Abendanon, dan pada 1911 diterbitkan sebagai buku yang
berjudul: “Door duisternis tot Licht”. Buku yang kemudian disalin dalam
bahasa Indonesia oleh Armijn Pane dengan judul: “Habis Gelap, Terbitlah Terang”
dan diterbitkan oleh Balai Pustaka. Dalam bahasa Sunda diberi judul: “Tina Poek
ka noe tjaang”.
R.A. Kartini menuturkan cita-cita serta keinginannya agar perempuan pribumi Hindia-Belanda
dapat bergerak maju dan mendapat pendidikan yang layak. Sebagai sosok perempuan
bangsawan Jawa - puteri Bupati Jepara - R.A. Kartini telah menyaksikan
dan mengalami sendiri betapa tradisi adat telah menempatkan kaum
perempuan pada posisi marjinal. Pada masa itu, kewajiban perempuan pribumi
Hindia-Belanda hanya bekerja untuk rumah tangga dan mendidik anak-anaknya. Kaum
perempuan diarahkan untuk berbakti pada suaminya dengan sepasrah-pasrahnya.
Tujuan pendidikan kaum perempuan kala itu hanya agar mereka dapat menikah
belaka. Kaum perempuan masih dipandang sebagai perabot dapur. Mereka tidak
boleh banyak menuntut walaupun dipermainkan dan disia-siakan oleh suaminya.
Kegigihan R.A. Kartini itu membuahkan hasil. Atas upaya Teodore van Deventer yang terkesan pada pemikiran Kartini dalam buku "Habis Gelap Terbitlah Terang itu, maka Sekolah Wanita yang pertama didirikan di Semarang pada 1912. Kemudian menyusul di Surabaya, Jogyakarta, Malang, Madiun dan Cirebon. Sekolah Wanita tersebut diberi nama "Kartini School" (Sekolah Kartini) dan bernaung di bawah Tjandi-stichting (yayasan pendidikan untuk Hindia Belanda) yang didirikan oleh Nyonya Van Deventer pada 1913.
Kegigihan R.A. Kartini itu membuahkan hasil. Atas upaya Teodore van Deventer yang terkesan pada pemikiran Kartini dalam buku "Habis Gelap Terbitlah Terang itu, maka Sekolah Wanita yang pertama didirikan di Semarang pada 1912. Kemudian menyusul di Surabaya, Jogyakarta, Malang, Madiun dan Cirebon. Sekolah Wanita tersebut diberi nama "Kartini School" (Sekolah Kartini) dan bernaung di bawah Tjandi-stichting (yayasan pendidikan untuk Hindia Belanda) yang didirikan oleh Nyonya Van Deventer pada 1913.
Pergerakan Perempuan Indonesia
Perjalanan
hidup dan perjuangan R.A. Kartini tentu berbeda dengan perjuangan Raden Dewi
Sartika. Perjuangan Ibu Kartini, kini kita sebut, masih dalam tataran konsep.
Sedangkan Dewi Sartika merupakan sosok perempuan pertama yang menanam benih
pendidikan di kalangan kaum perempuan Sunda khususnya dan kaum perempuan
pribumi Hindia-Belanda umumnya. Meskipun hanya sempat belajar di sekolah rendah
sampai kelas IV, perjuangan Dewi Sartika akhirnya menuai hasil. Pada 1914,
perkumpulan Keutamaan-Isteri mengirimkan 5 orang gadis dari Padang untuk
dididik oleh Dewi Sartika dengan harapan akan menjadi guru di Minangkabau.
Pendidikan ini merupakan cikal-bakal didirikannya “Keoetamaan Isteri School”.
Guru-guru di sekolah ini kebanyakan lulusan sekolah yang diasuh Dewi Sartika.
Sebelum itu, pada 1913, Dewi Sartika telah menyumbangkan pemikirannya melalui
pidato dalam Openbare Vergadering Congres Sarekat Islam atas undangan
H.O.S Tjoroaminoto. Pidato tersebut menjadi inspirasi para peserta kongres.
Sehingga didirikanlah sekolah untuk anak perempuan di Surabaya bernama: “Mardhi
Kenjo”. Pada 1919-an, didirikan Van Deventerschool. Sampai akhirnya
sekolah-sekolah untuk anak perempuan bertambah banyak jumlahnya.
Puncak
perjuangan Dewi Sartika adalah ketika menerima bintang perak dari pemerintah
Hindia-Belanda dan mendapat gedung baru yang diberi nama:”Raden Dewi Sartika
School.” Ketika genap 35 tahun usia sekolah yang dirintisnya, Dewi Sartika
menerima medali emas dari Orde Oranje Nassau.
Raden Dewi Sartika School. foto: disparbud.jabarprov.go.id |
Dalam
perjalanan panjang itu, Kongres Perempuan Indonesia I diadakan pada Desember
1928 di Jogyakarta. Kongres ini merupakan reaksi ketika perkumpulan Vrouwenkiesrecht
mengundang Wanito Utomo (Jogyakarta) untuk mengirim utusan ke Pacific Congress
di Honolulu, Hawai. Undangan tersebut tidak bisa dipenuhi karena Wanito Utomo
merasa belum cakap dan belum sanggup.
Peran Ibu
Kartini sebagai perintis pergerakan perempuan Indonesia tidak bisa diabaikan.
Meskipun masih sebatas konsep, tetapi itu bisa dimengerti. Ibu Kartini
wafat usia 25 tahun. Usia yang sangat belia. Andaikan diberi usia
panjang, tentu jejak sejarah akan bercerita lain. Bisa dikatakan bahwa Raden
Dewi Sartika bukan tokoh tunggal dalam masa perintisan perjuangan untuk
mencapai kesetaraan jender. Raden Dewi Sartika mencurahkan tenaganya untuk
rakyat jelata. Sekolahnya juga untuk keperluan kaum perempuan di kalangan
rakyat. Sehingga akhirnya Reden Dewi Sartika diberi gelar R.A. Kartini dari
Pasundan.
Budaya dan Agen Perubahan
Jika kita
mencoba menelusuri perjuangan perempuan di Indonesia dan di negara lain, maka
rentang waktunya sangatlah panjang. Bahkan kajian-kajian tentang peran
perempuan dalam pembangunan tidak pernah habis. Jeanne d’Arc - sang wanita
pahlawan Perancis - mendapat perlakuan diskriminatif dari kalangan mayoritas,
meskipun memiliki banyak pengikut dari kaum pria. Di negara pelopor demokrasi
itupun, tidak dikenal adanya perempuan yang menjadi presiden hingga kini. Entah
yang akan datang.
Peran perempuan
di Eropa pada abad ke-19 penuh kontradiksi. Saat memasuki masa industri, mereka
hanya menjadi teman perjalanan ayah atau suami mereka yang menyusun strategi
kolonialisme. Bahkan beberapa abad sebelumnya, mereka kadang kala dijadikan
tumbal dalam upacara ritual.
Di Minangkabau
yang lekat dengan peran Bundo Kanduang dan sistem adat matrilineal, ternyata
kekuasaan formal tetap dipegang laki-laki. Suatu fakta fenomenal menunjukkan
bahwa meskipun perempuan merupakan ahli waris dan pemilik sah harta pusaka,
tetapi mereka tidak memiliki kontrol penuh atas sumber daya seperti tanah dan
harta pusaka tersebut. Kontrol justru dikendalikan oleh mamak dan datuak.
Namun di segi lain, tokoh perempuan Minangkabau yang memang memiliki otoritas
dan digambarkan sebagai Bundo Kanduang di rumah gadang sangat piawai dalam
mengelola dan memimpin semua penghuni rumah gadang. Pada masa lalu, Bundo
Kanduang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
Keterlibatan
perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan sangat penting. Di
Kabupaten Nunukan, masyarakat Toro sejak abad ke-8 sudah memiliki figur
pemimpin perempuan yang disebut ibu kampung (tina ngana) dan berfungsi
sama dengan dewan pimpinan kampung (totua Ngata toro). Dalam setiap
pertemuan, keputusan tidak bisa diambil tanpa kehadiran tina ngana.
Seorang tina nyata juga sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu
konflik. Juga di Lampung, khususnya masyarakat Lampung Pesisir, peran perempuan
cukup dominan dalam kegiatan pertanian.
Hal yang
dilematis pada era modern kini, ternyata akses perempuan perdesaan terhadap
pendidikan sangat rentan. Minimnya akses ini akan berimplikasi buruk ketika
mereka menjadi masyarakat urban atau ketika lingkungannya sendiri harus
beradaptasi dengan para pendatang dan hadirnya teknologi baru.
Dalam konteks
kekinian, perbedaan akses dan kontrol telah menarik perhatian ekonom penerima
Nobel, Amartya Sen. Terdapat bukti hampir merata di berbagai belahan dunia
bahwa pengabaian terhadap hak-hak perempuan disebabkan oleh faktor budaya. Bank
Dunia pun dalam Engendering Develpopment, Trough Gender Equality in
Rights, Resources, and Voice (2001) menemukan bahwa diskriminasi
berdasarkan jender dapat menghambat pembagunan dan kesejahteraan masyarakat.
Peran perempuan
memang sangat diharapkan sebagai agen perubahan. Namun harus dipahami kembali
secara mendalam oleh para Kartini Kecil bahwa kedudukan perempuan dalam
kekuasaan formal yang bersifat politis tidak mutlak diperlukan. Hal yang jangan
pernah dilupakan adalah bahwa keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan
memang merupakan keharusan.
Kita perlu
manyimak ulang bahwa pendirian R.A. Kartini yang mula-mula ingin hidup sendiri,
akhirnya menjadi berubah. Dalam suratnya: ”Sepatah kata akan menggambarkan
kepada nyonya dengan selekas-lekasnya tentang perubahan baru dalam hidupku.
Saya akan melakukan kewajiban saya, tiadalah sebagai orang perempuan yang
berdiri sendiri, karena seorang laki-laki yang cakap mulia, akan membantu saya
bagi keperluan bangsa kami”.
Pada 1939
kemudian, seorang perempuan penyair angkatan baru menulis bait puisi dalam
sebuah majalah ketika itu:
“Marilah
‘puteri ibu bangsa';
Semboyan
kita bersatu hati;
Mari
berjuang di samping putera;
Jadi
pembela di sayap kiri." __________________________
0 comments:
Post a Comment